Minggu, 04 Oktober 2009

Banyak Fotografer, tetapi Miskin Buku Fotografi

Ironis, kata Kartono Ryadi, fotografer senior dari harian Kompas, ketika mengomentari buku yang ditulis Iwan Zahar bertajuk Catatan Fotografer: Kiat Jitu Menembus New York. Dikatakan ironis lantaran sekarang ini banyak muncul fotografer (banyak juga yang terkenal alias punya nama di Indonesia), tetapi betapa miskin- bahkan nyaris-tidak ada buku fotografi yang diterbitkan.

Kenapa bisa begitu? Kartono Ryadi tidak tahu penyebabnya. Padahal, pada satu sisi, dunia penerbitan, saat ini, demikian marak. Jadi, buku karya Iwan Zahar, dosen Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta, ini sekadar pelipur lara di tengah dunia perbukuan kita yang bergelora. Maklumlah, justru buku cerita (fiksi) yang paling banyak diterbitkan. Sementara buku mengenai fotografi sungguh sulit dicari.

Dalam kata pengantar (halaman xv), Kartono Ryadi menyadari pula bahwa untuk menjadi seorang penulis yang sekaligus handal dalam bidang dunia fotografi adalah perkecualian. Setidaknya mesti memiliki talenta. "Tiap orang memang punya talenta sendiri-sendiri, seorang yang punya talenta untuk menggambarkan sesuatu secara visual dengan baik biasanya 'kurang' bisa menulis dengan baik pula. Nah, Iwan Zahar tampaknya merupakan kekecualian, bisa memotret dan mampu pula menulis," tulis Kartono Ryadi.

Membaca buku yang ditulis Iwan Zahar, diakui, menorehkan berbagai gugatan, mengingat perkembangan jagad fotografi termasuk perkembangan-khususnya mengenai teknologinya-begitu pesat. Bahkan mencuat pertanyaan apakah fotografi masuk rumpun seni kontemporer? Pertanyaan ini, kiranya, patut dijadikan wacana. Apalagi terdapat hal yang menarik dicermati, yakni pemenang ASEAN Art 2002 tidak lain sebuah karya fotografi. Hal ini terjadi untuk pertama kalinya sejak ASEAN Art 1994.

Fotografer Francis Ng Teck Young, pengajar Le Salle SIA College Art Singapura, anggota Photographic Society Amerika Serikat dan Singapura melalui karyanya bertajuk Constructing Construction dinobatkan sebagai pemenang pertama ASEAN Art Award atau dikenal dengan nama Phillip Morris Award. Lantas, seperti apa yang ingin dikemukakan Iwan Zahar dalam buka karyanya ini?

Yang jelas buku ini bukan buku pelajaran memotret - yang penuh dengan pelajar teknik fotografi - yang menurut Iwan Zahar pada era digital sudah tidak terlalu penting. Justru pada sisi itulah buku ini tambah menarik. Sebab, pada buku ini disinggung kiat untuk apa serta apa tujuan bila seorang memilih fotografi sebagai profesinya. Buku ini mengarah dan sepertinya digunakan sebagai materi bahan kuliah Manajemen Produksi Fotografi.


Tantangan Besar

Bagi Iwan Zahar sendiri, menulis buku ini merupakan tantangan besar. Selain merupakan upaya meneruskan tradisi menulis buku fotografi setelah penulis foto kawakan Leodardi dan Soelarko. Di samping itu munculnya kegelisahan yang mendalam - sehingga Iwan Zahar bermimpi kapan pada suatu saat nanti ada karya forografer Indonesia bisa menembus dan berpameran di Museum Art New York, Amerika Serikat. Fotografer Jepang sudah sejak 50 tahun lalu berpameran di sana. Disusul fotografer Korea Selatan, India dan Cina.

Fotografer Asia sudah malang melintang di Museum Modern Art New York. Sebut saja Eikoh Hosoe - dari Jepang, Chien-Chi Chang (Taiwan), Atta Kim (Korea Selatan), dan dua fotografer India, yakni Raghubir Sing dan Raghu Rai. Khusus kedua fotografer India itu mengusik Iwan Zahar. Karenanya Iwan Zahar resah, "Mengapa fotografer Indonesia yang negaranya merdeka dengan tahun yang sama dengan India, tetapi kita tertinggal jauh sekali prestasinya?"

Pertanyaan inilah yang ingin dijawab Iwan Zahar dalam buku yang ditulisnya. Buku yang terdiri dari sembilan bab, yang bab pertama mengupas tentang mengapa seseorang menjadi fotografer. Dilanjutkan pada bab kedua mengenai spesialisasi dalam profesi Fotografer. Disambung dengan bab ketiga yang membicarakan soal portofolio.

Bab keempat masalah portofolio diurai lebih dalam. Terutama jenis tampilan portofolio komersial. Berikutnya perihal bab kelima - pembahasan begitu khas, yaitu bagaimana menjual portfolio - apakah datang langsung ke klien. Termasuk apakah perlu membayar orang untuk melakukan pemasaran. Nah, pada bab keenam baru pada fokus membicarakan buku ini kiat menembus New York. Sedangkan bab ketujuh dikemukakan cara pembuatan proposal. Lantas pada bab delapan Iwan Zahar melontarkan pendapat: Belajar otodidak fotografi, mungkinkah? Pada bab ini pun dijelaskan apa itu ilmu melihat, soal sekolah Bauhaus, dan dasar seni rupa. Buku ini lalu ditutup -bab sembilan- pembahasan yang menyangkut organisasi foto untuk karier, lembaga Magnum, dan Yayasan Aperture.

Walaupun tidak membicarakan pelajaran teknis fotografi, dan sengaja berorientasi pada pembicaraan berbisnis fotografi, justru di sinilah letak kekuatan buku ini. Pembaca atau peminat dunia fotografi tergugah untuk lebih menyelami betapa dunia bisnis fotografi sangat berkelok-kelok. Bahwa untuk menjadi fotografer profesional tidak mudah dan gampang alias seperti membalik telapak tangan. Wajar jika buku ini berupaya membeberkan segala sesuatunya mengenai hal itu.


Mudah Dipahami

Dituturkan dengan bahasa yang ringan, enteng - mudah dipahami, buku ini mengulas jalur tembus karier dari pembuatan portfolio foto, menjual foto, lomba foto - sampai menembus organisasi foto yang berada di New York. Buku inipun bernilai lebih, lantaran dibeberkan perihal filosofi pendidikan senirupa (yang sebenarnya sulit dipahami), yakni Sekolah Seni Bauhaus.

Sekolah Seni Rupa Bauhaus (1911-1933) merupakan sekolah seni rupa terbaik yang pernah ada sebelum dibubarkan Adolf Hitler. Begitu dibubarkan semua pendirinya lari ke Amerika Serikat. Bauhaus banyak menetaskan seniman terkenal seperti Walter Gropius, Wassily Kadinsky, Josef Albers, Laszlo Moholy-Nagy dan sebagainya. Kurikulum Bauhaus unik. Seandainya Anda atau kita ingin menjadi fotografer atau profesi seni lainnya, maka Anda atau kita tetap diminta untuk mengambil mata kuliah yang sama pada tiga tahun awal -yaitu menekankan pada latihan dua dan tiga dimensi. Semua mahasiswa dari bidang arsitektur, fotografi, lukis, desain grafis, pematung digabung menjadi satu (halaman 22 dan halaman 99).

Pokoknya yang dibahas dalam buku ini komplet - dan sekali lagi tidak menyinggung perkara teknis fotografi. Kesannya isi buku ini - bagaikan makanan - gado-gado. Karenanya seperti gado-gado, toh buku ini - memang padat gizi, dan sayuran yang ditampilkan terasa segar. Maklum dalam kenyataan lapangan yang dibutuhkan seorang fotografer, tidak lain bagaimana menjual karyanya. Dus, buku ini berguna betul bagi calon fotografer profesional atau buat peminat dunia fotografi, baik yang pemula dan yang di atas pemula. Namun tidak ada salahnya juga orang awam pun membaca buku ini. Sebab buku ini pun membahas masalah manajemen. Bagi yang berminat berbisnis fotografi, jelas buku ini sangat berfaedah.

0 komentar: